Secara geografis, Indonesia berada di posisi silang dunia yaitu di antara dua samudera (Samudera Hindia dan Samudera Pasifik) dan di antara dua Benua (Asia dan Australia) yang terbentang dari 95° Bujur Timur sampai dengan 141° Bujur Timur dan mulai 6° Lintang Utara sampai dengan 11° Lintang Selatan. Luasnya hampir sama dengan luasnya benua Eropa. Dengan kondisi tersebut, Indonesia harus dapat mempertahankan kepentingan nasionalnya dan menjaga Negara dari berbagai ancaman, hambatan, tantangan dan gangguan yang akan mengganggu stabilitas nasional[i].
Untuk itu, diperlukan sebuah sistem pertahanan Negara yang kuat. Saat ini, Indonesia menganut sistem pertahanan yang bersifat semesta, melibatkan seluruh warga Negara, wilayah dan sumber daya nasional lainnya serta disiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total dan terpadu, terarah, berkesinambungan dan berkelanjutan. Sebenarnya pertahanan semesta yang Indonesia anut ini masih bersifat land based concept, konsep yang berorientasi pada daratan. Sehingga cukup rentan terhadap ancaman yang datang dari luar dan dalam negeri mengingat luasnya laut dan udara yang dimiliki.
Syarat mutlak dalam pertahanan negara sebenarnya adalah penguasaan terhadap darat, laut dan udara Indonesia. Untuk itu, salah satu bagian penting dalam meningkatkan pertahanan negara adalah memperkuat kekuatan udara yang Indonesia saat ini miliki. Sebagaimana beberapa pendapat mengatakan bahwa, untuk dapat menguasai darat dan laut, maka harus terlebih dahulu menguasai udara[ii]. Terbukti dalam Perang Pasifik di Perang Dunia II, dimana Jepang dapat dengan cepat menguasai Jawa dikarenakan takutnya kekuatan sekutu atas penguasaan udara oleh Jepang. Setiap Angkatan Laut sekutu selalu teringat nasib Kapal Perang Repulse dan Prince of Wales, yang dihancurkan oleh kekuatan udara Jepang. Terbukti pula kekalahan Jepang di perang tersebut karena Jepang tidak mampu mempertahankan penguasaan udaranya di Pasifik[iii]. Oleh karena itu, untuk memperkuat pertahanan Nasional, maka mutlak Indonesia memperkuat kekuatan udaranya.
Sesungguhnya, kebijakan pertahanan nasional Indonesia mengacu pada tiga hal yaitu perlindungan wilayah/teritorial, kedaulatan, dan keselamatan bangsa. Untuk memenuhi kepentingan pertahanan nasional tersebut, Indonesia harus memperhatikan dua hal penting. Pertama, faktor geostrategis negara baik ke dalam dan keluar. Ke dalam, yaitu untuk menciptakan sistem pertahanan nasional yang mumpuni yang berdasarkan kesatuan kekuatan yang dapat melindungi 17 ribu lebih pulau dengan luas 7.7 juta Km2 (termasuk wilayah zona ekonomi eksklusif) dengan panjang pantai sekitar 80 ribu kilometer. Upaya bela negara bagi negara kepulauan seperti Indonesia berarti juga mempertahankan kedaulatan maritim dan sumber daya yang berada di dalamnya. Keluar, untuk menciptakan faktor penangkal yang kuat kepada pihak eksternal, paling tidak melalui pengembangan kemampuan surveillance dan reconaissance. Kedua, sistem dan strategi pertahanan nasional harus memperhatikan perubahan dan perkembangan dunia internasional, terutama perubahan sifat perang, sifat dan bentuk ancaman dalam dunia yang digerakkan oleh perkembangan pesat di bidang teknologi dan komunikasi. Perang modern, dengan pengecualian perang untuk menggulingkan suatu rejim, tidak lagi didominasi perang teritorial yang dilakukan dengan konsep-konsep perlawanan bersenjata secara gerilya, melainkan merupakan perang yang menekankan penghancuran infrastruktur vital atau center of gravity. Perkembangan ini mau tidak mau haruslah mengubah cara pandang/paradigma pertahanan negara Indonesia sebagai negara kepulauan. Kalaupun pemikiran-pemikiran atas dasar land-based strategy masih dipertahankan, strategi ini akan berjalan efektif dengan dukungan kekuatan udara dan laut. Dalam sejarahnya, terutama sejak abad ke 20, kekuatan darat selalu menghadapi kesulitan dalam menghadapi kekuatan udara yang tangguh[iv]. Terbukti pada perang Teluk tahun 1991, dimana kekuatan udara menunjukkan superioritasnya terhadap kekuatan lainnya. Sebaliknya, bahkan dalam apa yang disebut sebagai low-intensity conflict pun kekuatan udara mempunyai keunggulan atas kekuatan darat yang menggunakan taktik perang gerilya, terutama dalam aspek mobilitas, pengintaian udara, kemampuan pukul balik yang cepat. Dewasa ini kelihatan bahwa kekuatan laut pun harus didukung oleh kekuatan udara untuk keberhasilan misi-misi mereka. Lebih jauh, kemajuan teknologi informasi dan persenjataan, misalnya munculnya rudal-rudal balistik, telah mengaburkan batas-batas teritorial dan sifat perang menjadi lebih cepat, negara makin rawan terhadap serangan medadak, dan memerlukan kekuatan yang kuat, siaga dan efektif.
Saat ini ancaman sangat menyebar dan bergerak dengan cepat, serta bersifat multidimensional. Sifat dan bentuk ancaman menjadi makin kompleks terutama dengan memperhatikan posisi geografis Indonesia. Indonesia sedang dan akan menghadapi masalah-masalah baru yang tidak dapat dihindarkan misalnya migrasi ilegal, perdagangan obat bius dan obat-obat terlarang lain, pencucian uang, pencurian ikan, perdagangan gelap yang lain, serta terorisme internasional.
Perkembangan-perkembangan ini telah merubah cara pandang dalam pemikiran dan perencanaan strategis yang mengarah pada kebutuhan akan kekuatan yang terlatih dan dilengkapi dengan kemampuan untuk bergerak cepat. Dalam kaitan ini kekuatan udara akan mempunyai peran yang sangat penting dan strategis karena kecepatan dan fleksibelitasnya[v]. Dalam perkembangan terakhir, dapat dibuktikan dominasi kekuatan udara dalam peperangan modern. Kekuatan udara telah berhasil menciptakan situasi dan mempengaruhi bagaimana perang dilakukan, menyediakan berbagai pilihan-pilihan operasi militer, bahkan membendung musuh tidak hanya dalam pertempuran, melainkan juga dalam mengembangkan strategi mereka secara umum. Perwujudan kekuatan udara sendiri harus dapat menjamin kemenangan peran udara pada setiap konflik yang ada[vi].
Argumen di atas tidak untuk menolak pentingnya kekuatan darat sebab bagaimanapun kekuatan udara tidak akan pernah mampu melakukan penguasaan daratan. Melainkan untuk menegaskan bahwa kekuatan udara merupakan kekuatan utama yang membentuk paradigma tentang perang dan perencanaannya, pengorganisasian, penyusunan, dan komando kekuatan militer, terutama bagi negara-negara yang mempunyai wilayah kepulauan sangat luas dan menyebar.
Sistem pertahanan Indonesia didasarkan atas doktrin pertahanan semesta yang baik dilihat dari sisi sejarah maupun strategi militer, mengandung tiga masalah, pertama bahwa doktrin ini masih mempunyai implikasi politik dalam arti luas yang sangat kental, meskipun secara formal dwifungsi sudah dihapus. Anggota legislatif dan sebagian masyarakat masih sangat alergi dengan bahasa tersebut. Dikhawatirkan, dapat memperburuk kemampuan pencapaian tujuan pertahanan nasional Indonesia. Kedua, sistem pertahanan yang bertumpu pada matra kekuatan darat perlu ditinjau lagi karena tidak sesuai dengan posisi Indonesia sebagai negara kepulauan dan membuat pertahanan militer Indonesia sangat terbuka terhadap ancaman udara dan maritim serta serangan musuh. Sangat sulit mempertahankan pulau demi pulau dibandingkan dengan luasnya Indonesia. Akan lebih masuk akal bila pertahanan dimulai dengan penguasaan udara dan laut Indonesia. Ketiga, Sistem pertahanan semesta bukan saja dianut oleh Indonesia. Singapura memiliki apa yang disebut pertahanan semesta tersebut. Sewaktu-waktu, seluruh rakyat Singapura bisa saja menjadi tentara bila keadaan negaranya terancam. Demikian juga dengan negara-negara lain yang memiliki dinas wajib militer. Land-based strategy dalam sistem pertahanan semesta di Indonesia harusnya merupakan pilihan terakhir.
Untuk itu harus dilakukan restrukturisasi. Restrukturisasi sistem pertahanan Indonesia harus semata-mata berdasarkan pada kepentingan pertahanan (defence), bukan politik. Sebagai negara kepulauan yang terbuka, maka harusnya Indonesia mengembangkan strategi pertahanan yang bersifat active defence yang harus ditopang oleh kekuatan udara yang memadai. Active defence bisa berperan sebagai faktor penangkal yang efektif (deterrence factor).
Impian penulis, untuk menjaga luasnya wilyah NKRI dengan menggunakan kekuatan udara sebagai faktor penangkal efektif, Indonesia dapat dibagi menjadi 3 (tiga) Divisi Udara, Divisi Udara I Elang (wilayah Barat berpusat di Medan), Divisi Udara II Rajawali (wilayah Tengah berpusat di Madiun) dan Divisi Udara III Garuda(wilayah Timur berpusat di Makasar). Setiap divisi udara, membawahi beberapa wing dengan kekuatan sebagai berikut:
Wing Tempur, terdiri atas:
- 3 (tiga) skadron tempur strategis dengan pesawat F-16 C/D atau Su 27/30
- 3 (tiga) skadron tempur taktis dengan pesawat Mig 25
- 1 (satu) skadron taktis ringan/COIN dengan pesawat Super Tocano
Wing Bomber, terdiri atas :
- 1 (satu) skadron bomber strategis dengan pesawat T60S
- 1 (satu) skadron bomber taktis dengan pesawat Su 25
Wing Intai, terdiri atas :
- 1 (satu) skadron intai strategis dengan pesawat Global Hawk
- 1 (satu) skadron intai taktis dengan pesawat UAV
- 1 (satu) skadron kodal dengan pesawat A 50
- 1 (satu) skadron pernika dengan pesawat Su 330 modif Pernika
Wing Angkut, terdiri atas :
- 2 (satu) skadron transport berat dengan pesawat C-130 J
- 3 (tiga) skadron transport ringan dengan pesawat CN 235M
- 3 (tiga) skadron helly dengan pesawat Super Puma
Sebagai pertimbangan, pesawat F-16 C/D dapat saja digantikan dengan Mirage 2000-5, mengingat Perancis sebagai negara pabrikan tidak terlalu rumit dalam penjualannya. Akan menjadi lebih baik, bila Typhoon dapat menjadi kekuatan utama tempur kita. Sedangkan pesawat Hawk 109/209 yang dimiliki Indonesia ini dapat dijadikan sebagai pesawat tempur latih sekaligus kekuatan cadangan yang dapat dilibatkan juga dalam berbagai operasi. Sedangkan pesawat tanker dapat saja diadakan hanya 2 (dua) skadron yang berkedudukan di Halim dan di Makasar. Khusus pengamanan Ibukota, berada di bawah tanggung jawab wilayah tengah, dengan menempatkan 1 (satu) Skadron Tempur di Madiun. Apabila diperlukan, dapat saja kekuatan udara ditambahkan dengan 1(satu) skadron intai maritim-bomber-anti submarine di tiap divisi udara dengan pesawat Su-34. Pertimbangan penggunaan pesawat ini adalah karena dapat terbang selama 4000 km atau 8 jam non stop tanpa pengisian bahan bakar[vii].
Idealnya, upaya perkuatan udara seperti di atas dilakukan setelah defence review yang didahului analisis mengenai lingkungan strategis, potensi ancaman, dan tantangan keamanan ke depan. Dari analisis ini lahir titik-titik rawan wilayah Indonesia yang dijadikan dasar bagi pengembangan kekuatan militer. Untuk mengatasi titik-titik rawan hasil analisis tersebut perlu dikembangkan wilayah pertahanan yang mengarah pada pengembangan strategi defence in-depth di mana kekuatan udara (dan laut) akan menjadi kekuatan utama dalam zona pertahanan pertama dan kedua. Kebutuhan minimum pertahanan dalam strategi dan zona pertahanan ini adalah pengintaian dan pengamatan udara yang dapat memberikan suatu peringatan dini dan analisis tentang intensi (maksud)[viii]. Ini bisa dicapai dengan melakukan kegiatan pengamatan dan pengintaian secara terus-menerus sehingga ditemukan pola perilaku. Dalam bidang pertahanan, pengamatan udara berperan tiga hal: peran strategis, informasi intelijen, kontribusi pada operasi militer.
Gambaran di atas barangkali kelihatan ideal, tetapi sekaligus merupakan kebutuhan/tuntutan ke depan[ix]. Indonesia harus menerapkan strategi pertahanan yang sesuai dengan posisi geo-strategis dan perkembangan-perkembangan internasional yang melahirkan beragam bentuk dan sifat ancaman. Gambaran tentang perlunya pengembangan kekuatan udara tentu tidak terbatas pada masalah-masalah di atas. Perlu perumusan kebijakan atas dasar pertimbangan atau prioritas aspek mana yang harus diperkuat. Selain itu, ada implikasi finansial, politik, baik dalam negeri maupun luar negeri, dan sistem pertahanan secara keseluruhan[x]. Ini semua membutuhkan komitmen politik nasional dari semua stakeholders terutama terhadap reformasi bidang keamanan. Jadi, sebenarnya kebutuhan pertahanan tidak pernah lahir secara mendadak. Ia merupakan hasil dari analisa lingkungan strategis yang dirumuskan dalam kebijakan pertahanan dan selanjutnya dijabarkan dalam program pertahanan dengan implikasi penganggaran dalam kerangka kerja sistem politik.
[i] Kolonel Sus Kisenda, Dasar Strategi dan Anatomi Konflik, Sekkau, 2009
[ii] Ahmad Irvan, 10 Hal tentang Kekuatan Udara, irvan99.blogspot.com
[iii] PK Ojong, Perang Pasifik, Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2001
[iv] Edy Prasetyono, 2008, Kekuatan Udara dan Pertahanan Nasional, http://www.propatria.co.id
[v] Vademicum Opslat NI AU, Kampanye Udara, SMART Institute, Yogyakarta, 2008
[vi] Naskah Sekolah Air Power, Sekkau, 2008, hal 10
[vii] Forum, Membuat Air Power, www.tni-au.mil.id/forum/
[viii] Naskah Sekolah Air Power, Sekkau, 2008 hal 16
[ix] Connie Rahakundini, Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal, arbiesfamily.multiply.com
[x] Naskah Sekolah Kekuatan Dirgantara Indonesia, Sekkau, 1998
1 komentar:
COOL article bro', ...
Posting Komentar